dibuat oleh

Texts

Text Widget

Footer Widget 3

Blogger Tricks

Blogger Themes

Recent Post

Pages

Powered By Blogger

Footer Widget 2

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

RSS

HUKUM RIBA DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH


HUKUM RIBA DALAM  HUKUM EKONOMI SYARIAH 

Oleh: Khairunnisa Zainuddin
A.  Riba dalam sudut pandang Ajaran Agama dan Sejarah
1. Pengertian Riba berdasarkan Hukum Islam
Riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Alqurán Surat An-Nisa/4: 29 sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Dalam transaksi simpan-pinjam dana misalnya, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan meng-usahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
2.  Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba Qardh ( ربِا القرض )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah (ربِا الجاهلية )
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.   Riba Fadhl (ربِا الفضل )
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d. Riba Nasi’ah ( ربِا النسيئة )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
2. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan dalam masyara-kat Islam, melainkan menjadi persoalan berbagai kalangan di luar Islam. Karena itu, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun yang silam. Masalah riba telah menjadi pembahasan di kalangan penganut agama Yahudi, bangsa Yunani, bangsa Romawi, penganut agama Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba dilihat dari perspektif kalangan non-Muslim dimaksud. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan non-Muslim dimaksud, perlu dilihat kajiannya. Hal itu, diuraikan sebagai berikut.
a.                 agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Ummat Islam mengakui juga kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena pemeluk agama Yahudi dikaruniai Allah kitab Taurat; Sedangkan penganut agama Kristen dikaruniai kitab Injil.
b.                pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat oleh para pemuka agama tersebut.
c.                 pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi dalam kaitannya dengan riba. Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut.

1) Konsep Bunga bagi pemeluk agama Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan dimaksud, banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran ). Misalnya: Pasal 22 ayat (25) menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya." Selain itu, Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 ayat (19) menyatakan: "Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan." Demikian juga Kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 ayat (7) menyatakan: "Janganlah  engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."
2)  Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya.  Secara umum, nilai bunga tersebut mempunyai kategori seperti diungkapkan dalam bentuk Tabel 3-1 di bawah ini
TABEL -3.1
VARIASI BUNGA DI KALANGAN
YUNANI DAN ROMAWI
Pinjaman biasa
Pinjaman properti
Pinjaman antarkota
Pinjaman perdagangan dan industri
  6 % - 18 %
  6 % - 12 %
  7 % - 12 %
12 % - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga  IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ‘tingkat maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
TABEL-3-2
JENIS TINGKATAN BUNGA
Bunga maksimal yang dibenarkan
Bunga pinjaman biasa di Roma
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma)
Bunga khusus Byzantium
8 –  12 %
4 –  12 %
6 –100 %
4 –  12 %
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengam-bilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin; Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk meng-hasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
 3)  Konsep Bunga di Kalangan pemeluk agama Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat dimaksud, menyatakan: "Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun me-minjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."
Ketidaktegasan ayat di atas, sehingga muncul berbagai tang-gapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu:
a)    pandangan para pendeta agama Kristen pada awal abad I-XII M yang mengharamkan bunga;
b)   pandangan para sarjana pemeluk agama Kristen pada abad  XII–XVI M yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan; dan pandangan para reformis pemeluk agama Kristen pada  Abad XVI– XIX yang menghalalkan bunga.

3. Pandangan Reformis Kristen  pada Abad XVI-XIX M
Para reformis di kalangan pemeluk agama Kristen telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu, di antaranya: John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 –1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain, yaitu: (a) Dosa apabila bunga memberatkan, (b) Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles), (c) Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, (d) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga
d.  Konsep Riba di dalam Alqur’an dan Hadis
1) Tahap Pertama
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba adalah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah Swt. dalam Alqurán Surat Ar Rum: 39 sebagai berikut.
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39).
2) Tahap Ke dua
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Karena itu, Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Ancaman Allah swt dimaksud, diungkapkan dalam Alqurán Surat An Nisa: 160-161
3)Tahap ketiga
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba yang berlipat Ganda. Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam Alqurán Surat  Ali Imran: 130
4) Tahap ke empat atau tahap terakhir
Peringatan Allah swt dalam Alqurán sebagai peringatan terakhir mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Larangan dimaksud, Allah Swt berfirman di dalam Alqurán surat Al Baqarah: 278-279

BEBERAPA PERBEDAAN RIBA DENGAN USAHA LAINNYA

AA.  Perbedaan investasi dengan membungakan uang
Ada 2 (dua) perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat dianalisis melalui definisi hingga makna masing-masing dari ke dua istilah dimaksud, yaitu: (a) Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidak pastian. Karena itu, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap; dan (b) Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan selalu menguntungkan pihak yang membungakan uang.
Bila hukum Islam dicermati mengenai investasi maka dapat dapahami bahwa hal dimaksud, mendorong warga masyarakat ke arah usaha nyata yang produktif. Selain itu, dapat dipahami bahwa investasi dihalalkan dan membungakan uang di larang oleh hukum Islam. Demikian juga menyimpan uang di bank yang yang menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan amat tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pihak bank sebagai mudharib atau pengelola dana. Karena itu, bank Islam (baik bank muamalah maupun bank syariah dan/atau bank konvensional yang mengguna-kan prinsip syariah) tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi keperca-yaan bagi pemilik dana atau investor.

B. Perbedaan hutang uang dengan hutang barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda, yaitu hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lain yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan oleh sistem perbankan yang menggunakan prinsip syariah.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli. Karena itu, kalau harga jual sudah menjadi kesepa-katan, maka selamanya tidak dapat berubah, baik barang itu naik harganya maupun turun. Dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

C. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil
Ajaran Islam mendorong kepada warga masyarakat untuk melakukan praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata dan mendasar. Perbedaan itu, dapat dilihat pada Tabel-3.3 sebagai  berikut.


TABEL-3.3
PERBEDAAN BUNGA DAN BAGI HASIL
BUNGA
BAGI HASIL
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a. Penentuan besarnya rasio/ nis-bah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung  atau  rugi
b. Besarnya persentase berdasar-kan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap se-perti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, ke-rugian akan ditanggung ber-sama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang "booming".
d. Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.

e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar